Menjadi Perempuan
Sebuah essay yang ditulis untuk memenuhi mata kuliah pendidikan kewarganegaraan yang mengangkat tema proses penemuan identitas diri.
Memiliki identitas sebagai seorang perempuan di dunia Science, Technology, Engineering, and Mathematic (STEM) memiliki makna tersendiri. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Society of Women Engineers (SWE), hanya 13% jumlah total perempuan yang berprofesi sebagai insinyur di seluruh dunia (Rincon, 2019). Imej yang tertanam di masyarakat bahwa insinyur atau ilmuan merupakan pekerjaan yang ber-gender laki-laki masih sangat kental. Kentalnya stereotipe yang ada di masyarakat bahwa STEM merupakan dunia laki-laki masih sangat jelas terlihat dari film, serial televisi, majalah, dan bentuk media lainnya. Bahkan di dalam sebuah film atau serial telivisi dengan genre sains-fiksi masih sering kali memperlihatkan sosok ilmuan atau insinyur laki-laki dibandingkan perempuan. Walaupun pada faktanya, saat ini sudah banyak sekali ditemui perempuan-perempuan yang menempuh pendidikan sains atau menjadi ahli di bidang STEM. Masih berdasarkan data statisik yang dihimpun oleh SWE, saat ini perempuan sudah banyak memiliki andil dalam perkembangan teknologi. 26% dari jumlah total insinyur komputer yang aktif mengembangkan tekologi saat ini ialah perempuan. Artinya, walaupun masih menjadi minoritas, angka ini merupakan sebuah kemajuan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berada pada angka 9% (Rincon, 2019). Imej dan pandangan bahwa perempuan juga memiliki kursi di dunia STEM ini masih menjadi tantangan yang perlu digaungkan di masyarakat luas.
Fakta dan data ini juga memberikan makna, pengaruh, dan pengalaman personal tersendiri pada penulis. Sejak kecil sebagai seorang perempuan, nilai-nilai yang ditanamkan ialah bagaimana menjadi seseorang yang berkepribadian anggun, lemah lembut, dan penuh kasih sayang. Kebiasaan sosial membentuk imej bahwa perempuan lebih cocok dengan pekerjaan yang sifatnya merawat, menyayangi, atau membuat sesuatu yang indah. Seiring dengan berkembangnya peradaban dan globalisasi, nilai-nilai yang ditanamkan ini kemudian bertambah lagi, bahwa perempuan harus pintar, mandiri, dan mampu mengayomi. Secara tidak sadar, kebanyakan anak-anak perempuan mengenal bahwa hanya ada beberapa pekerjaan yang diperuntukkan untuk perempuan seperti pramugari, guru, dokter, perawat, psikolog, desainer, model dan lain-lain. Bagi penulis yang masih berusia sembilan tahun dulu juga mengatakan bahwa cita-citanya ialah menjadi seorang desainer yang mengadakan sebuah peragaan busana di suatu gedung megah di New York City. Memamerkan pakaian-pakaian cantik untuk digunakan para model dan kemudian menjadi tren di kalangan perempuan. Penulis yang masih berusia sembilan tahun waktu itu belum mengetahui bahwa ilmuan favoritnya, merumuskan ide teori relativitas setelah berdiskusi dengan istrinya yang saat itu memilih mundur dari profesinya sebagai ilmuan untuk mendukung suaminya. Penulis yang saat itu berusia sembilan tahun belum diperkenalkan bahwa dunia saat ini dapat dengan mudah mengantisipasi kandungan radioaktif suatu materi karena adanya teori yang dikembangkan oleh seorang ilmuan perempuan. Penulis yang saat itu hanya mengenal Coco Chanel sebagai pembawa perubahan besar di peradaban busana dunia belum mengetahui bahwa pengembangan pemprograman komputer pertama dibuat oleh sembilan orang tentara insinyur perempuan.
Butuh waktu setidaknya hingga masa sekolah menengah akhir sehingga penulis sadar bahwa STEM juga merupakan bidang yang dapat ditekuni oleh seorang perempuan. Menjadi seorang perempuan memiliki nilai dan makna lebih dari sekedar kecantikan dan kelembutan.
Penulis tumbuh dengan memahami bahwa perempuan kental kaitannya dengan estetika dan apapun yang membutuhkan kelembutan dalam pengerjaannya. Namun, hingga akhirnya berada di jenjang sekolah menengah akhir, penulis menyadari bahwa dunia STEM, terutama geosains merupakan dunia yang juga memerlukan estetika dan kelembutan dalam pengerjaannya. Jika Charles Lewis Tiffanny menggunakan sebuah intan sebagai permata di produknya untuk yang dijadikan perhiasan oleh banyak perempuan di dunia, seorang geologist perempuan yang ada di perusahaan tambang intan juga menggunakan nilai kelembutan dalam keahliannya untuk menimbang nilai dari suatu intan.
Penulis menyadari bahwa manusia dalam pencariannya akan selalu menemukan nilai-nilai baru yang cocok dan kemudian menggantikan nilai-nilai lama dan pandangan yang selama ini dipercaya dan diyakini. Jika pada usia sembilan tahun penulis meyakini bahwa cita-cita menjadi seorang desainer yang menggelar peragaan busana dengan kain-kain khas Indonesia dapat mengangkat martabatnya yang menyandang identitas sebagai perempuan, di usia 16 tahun, penulis menemukan nilai baru bahwa sejatinya estetika dan kelembutan yang merupakan nilai dasar yang dibangun masyarakat untuk menjadi perempuan tidak hanya berkaitan dengan pakaian cantik, perhiasan, ataupun mengurus rumah tangga. Melainkan, makna yang jauh lebih besar dan luas serta mampu diampu oleh seorang perempuan.
Jika di usia sembilan tahun penulis menyadari bahwa menjadi perempuan hebat ialah dengan menjadi hebat di dunia yang diyakini masyarakat merupakan ladangnya perempuan, maka di usia 16 tahun penulis yang mengilhami karya Jane Austen menyadari bahwa perempuan dapat menjadi hebat di ladang manapun.
Pandangan sederhana yang dibuat oleh Jane Austen melalui karakter Catherine Morland mengenai perempuan dan bagaimana perempuan bisa menjadi hebat dan berpandangan luas dengan menyesuaikan diri adalah motivasi pertama penulis untuk kemudian memilih untuk menyelami dunia STEM. Penulis secara personal memiliki pengalaman sendiri dalam mengenali industri pertambangan, khususnya batubara, batu mulia, dan migas. Pengalaman ini hadir karena latar belakang penulis yang lahir dan dibesarkan di Kalimantan Timur. Berawal dari pandangan naif Catherine Morland, kemudian penulis membuka sudut pandang baru mengenai perempuan dan kapabilitasnya. Penulis kemudian menyadari pengalamannya mengenali industri pertambangan dan mengetahui bahwa bebatuan merupakan saksi sejarah dunia yang paling jujur. Hingga akhirnya penulis yang berusia 18 tahun memutuskan bahwa perempuan mampu berada di dunia geosains yang labelnya merupakan ladang untuk laki-laki.
Masyarakat pada umumnya mungkin masih banyak yang berpandangan bahwa menjadi perempuan di suatu platform migas, melakukan pengeboran minyak, atau melakukan ekskavasi batubara adalah hal yang sulit atau mungkin langka. Namun, pada faktanya dunia geosains di Indonesia telah berkembang jauh lebih pesat. Pandangan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan dan kualitas yang sama hebatnya dengan laki-laki telah jauh berkembang di dunia geosains Indonesia. Dipandang adil dalam profesi, dilindungi oleh suatu badan profesi, dan diyakini mampu berinovasi telah lama menjadi hak istimewa perempuan indonesia di dunia geosains, kendati jumlahnya yang masih minor.
Menjadi perempuan di dunia geosains selama empat tahun terakhir memberikan pandangan baru lagi bagi penulis. Pandangan yang lebih spesifik dari apa yang dipercaya oleh Catherine Morland. Pandangan yang sama besarnya dengan Coco Chanel bahwa perempuan mampu membawa perubahan yang berarti di dunia, khususnya geosains. Mempercayai bahwa dengan nilai-nilai dasar menjadi seorang perempuan, menjadi pemimpin dan mengembangkan suatu lingkup sains adalah satu hal yang sama hebatnya dengan mengubah kebiasaan penggunaan korset pada perempuan. Dengan bekal kepercayaan ini, penulis kemudian mengenal perempuan-perempuan hebat lainnya dari jejaring profesi. Berbekal sudut pandang baru akan perempuan dan kemampuannya menyesuaikan diri, penulis menemukan perempuan-perempuan lain yang telah membawa banyak kemajuan dalam eksplorasi energi dunia.
Pengembangan diri yang dimulai dari mengilhami sosok Coco Chanel, menemukan karya Jane Austen dengan karakter fiksinya Catherine Morland, mempelajari Teori Curie, dan menemukan fakta bahwa Mileva Maric yang merupakan mantan istri Einstein merupakan pencetus ide teori relativitas, merupakan suatu pandangan hidup yang terus berkembang, dipercaya, dan diyakini oleh penulis dengan identitasnya sebagai perempuan. Suatu pandangan yang mungkin hanya dapat dipahami jika berdiri di dalam sepatu perempuan.
Pandangan-pandangan yang dilihat penulis dari sudut pandang seorang perempuan ini kemudian bermuara di pengalaman terakhir penulis saat ini. Menemukan insinyur-insinyur perempuan hebat yang membawa perubahan-perubahan besar dalam dunia eksplorasi energi saat ini. Kepercayaan, nilai-nilai, dan pandangan yang muncul dari sebuah identitas menjadi perempuan ini membawa penulis ikut menjadi pemimpin muda mahasiswa di suatu himpunan profesi global. Organisasi profesi Society of Exploration Geophysicists Women’s Network yang dibentuk dengan tujuan mengamplifikasi peran, karya, dan keberadaan perempuan di dunia geosains kini telah menjadi wadah baru bagi penulis untuk mengembangkan sudut pandang baru sebagai perempuan.
Penulis meyakini bahwa menjadi perempuan memiliki makna yang luas. Bahwa menjadi perempuan ialah menjadi manusia yang mampu menyesuaikan diri di ladang manapun. Menjadi perempuan ialah mampu bertahan melawan ketidakadilan. Menjadi perempuan ialah memiliki kemampuan membaca dan memahami kondisi dari banyak sudut pandang. Menjadi perempuan ialah bebas berkarya dan mengembangkan keilmuan. Menjadi perempuan ialah menjadi pemimpin bagi perempuan lainnya yang masih takut untuk masuk ke suatu ladang yang telah dilabeli gender. Sebagai bagian dari 19% total perempuan yang mengejar jenjang sarjana di STEM, penulis meyakini bahwa makna menjadi perempuan berarti memiliki kesempatan untuk mengenakan coverall atau kebaya sesuai dengan pilihannya. Menjadi perempuan berarti memiliki kemampuan untuk melakukan pengeboran migas dan menjadi ibu. Menjadi perempuan berarti memiliki peluang untuk menghadiri peragaan busana dan konferensi ilmiah.
REFERENSI
Rincon, R. (2019). SWE Research Update: Women in Engineering by the Numbers (Nov. 2019). https://alltogether.swe.org
Comments